Jumat, 24 Mei 2013

Sentuhan Cinta


Sentuhan Cinta

       Alangkah bahagianya kalau aku mendapatkan seorang kekasih yang cantik, setia,  jujur dan mengerti perasaan seorang lelaki. Betapa bahagianya kalau itu semua  aku dapatkan, tapi aku pikir semua itu hanyalah impianku yang semu. Impian yang hanya sebatas kesat mata yang semuanya berawal dari penantian yang tak pasti datang kebahagiaan. Awalnya aku pikir percintaan itu mengasikkan dan mencintai seorang kekasih seakan menggembirakan hati. Aku pernah merasakan bagaimana rasanya memiliki seorang kekasih yang baik, pintar, dan tulus mencintaiku. Namun dibalik rasa cinta itu, semua telah berubah menjadi kekecewaan yang amat menyakitkan dan semua itu harus kuterima dengan hati yang tulus karena dibalik kekecewaan pasti tersimpan keindahan cinta itu sendiri.
Sebuah keajaiban terjadi padaku. Dia masuk dalam hidupku lalu tiba-tiba Engkau merubah segalanya. Kehadirannya itu membuat aku mampu merasakan perasaan ciptaan-Mu, merasakan betapa indahnya cinta dan kasih sayang dan mengenalmu. Aku baru sadar betapa naifnya aku dan betapa besarnya dosaku, tetapi aku bersyukur karena kau mengirim dia untuk mengetuk pintu hatiku yang kelam. Seorang gadis cantik yang baik, pintar dan berhati mulia dialah Sitti Hartina. Dia laksana sekuntum bunga mawar dari surga.
Seiring dengan perjalanan waktu, aku pun semakin menyadari bahwa aku sangat membutuhkan dia, bahkan bukan itu saja aku merasakan bayang-bayangnya tidak bisa lenyap dari pandanganku. Aku merasakan dirinya selalu hadir dalam setiap  waktuku dan aku merasakan kehadirannya menghibur kesepi-an malamku. Saat itulah hatiku menyimpulkan bahwa aku sangat mencintainya.
Demi cintaku padanya aku akan berusaha lepas dari masa lalu yang kelam dan berusaha membunuh keinginan-keinginanku walau membuat-ku tampak payah dan menderita karena dalam benakku ada sebuah keyakinan bahwa suatu nanti aku akan memilikinya.
Setelah kulukis bayangannya disudut pelata-ranku yang biru, kucari sosoknya di lembaran mimpiku yang begitu dingin. Dia pun selalu ceria padaku. Kuharap dia juga selalu mengharapkan pertemuan yang selalu ku nantikan. Di malam yang sunyi ini aku duduk sorang diri. Di dalam hatiku ini selalu menangis bila mengenang dirinya yang selama ini aku kurindukan. Aku akan tetap menanti kedatanganmu walau beribu abad tahun penantian ini tak akan beranjak sampai kapanpun. Hatiku tak akan berubah walau kau jauh dariku. Rinduku bagaikan malam tanpa bulan bila dia tidak  di sisiku. Aku selalu mengucurkan air mata telaga bening yang mengendap ke dasarnya. Walau seribu misteri suka dan duka, rinduku serta dendam, namun aku hadapi dengan pasrah dan ketabahan. Andainya dia seperti langit lembayung yang selalu menarikan warna pelangi yang begitu lembut dan mempesona. Selembut kasih yang berkata tanpa suara. Selembut cinta  maka, aku akan berusaha meraih warna pelangi itu. Akan kujolok bulan dan semua bintang agar hatiku dan hatinya dianyam cinta yang sejati. Telah lama aku melangkah sendiri dan terombang ambing antara rindu dan kenangan. Sepertinya aku telah dibuat melayang kelam kabut yang di penuhi asap awan.
Kini hatiku bagaikan dermaga yang terlena dalam sisa ombak yang kemudian melepas kelamnya di dalam kesendirian gigilan rindu. Aku kini bagaikan pelabuhan rindu yang selalu mengharapkan keramai-an.  Di hati ini kaulah orang yang selalu kuharapkan seperti ketika pertama aku masuk dalam kesendirian-mu. Seketika itu aku pun menemukan seonggok api yang selalu menerangi hati dan jiwa hingga menjadi baja dalam langkah yang memanjang walau badai waktu tak dapat ku terjang. ###

Kamis, 23 Mei 2013

Cinta Penghujung Waktu

Cukup kau tahu sekarang bahwa aku mencintaimu meski kau tak bisa melihat itu dengan hatimu…aku mencintaimu meski kau telah menikam aku dengan belati cintamu… ****** Nora dan Kris adalah sepasang suami istri yang telah menjalani hubungan pacaran selama empat tahun lamanya. Di tahun ke kelima akhirnya mereka memutuskan untuk menikah dan menjalani bahtera rumah tangga sebagaimana pasangan lainnya. Di bulan pertama kisah cinta ini begitu manis. Di bulan kedua, ketiga dan seterusnya rumah tangga Nora dan Kris sudah mulai diguncang prahara. Apalagi setelah kepergian Nora meninggalkan rumah dan juga suaminya Kris, membuat suasana makin tegang. Puncaknya kemudian ketika Nora tak mengetahui bahwa dirinya kini sedang mengandung janin dari hasil pernikahannya bersama Kris. Ia bahkan di tuduh yang tidak-tidak oleh suaminya dan membuat hati Nora semakin panas. Ini sudah menginjak bulan kelima, perut Nora pun semakin membesar. Namun, sampai saat ini juga Kris tak pernah datang untuk menjemputnya, bahkan sekedar untuk menengoknya pun tidak. Masuk bulan keenam barulah Kris datang untuk melihat bagaimana kondisi Nora yang semakin menyedihkan menjalani hari-hari dengan perut membuncit tanpa seorang suami di sampingnya. Terkadang rasa rindu untuk bersama Kris selalu hadir namun seiring itu pula hati Nora panas dan sakit ketika mengingat perlakuan dan sikap suaminya terhadap dirinya. Cinta di hati Nora dengan sekejap lenyap tanpa meninggalkan jejak. Apa lagi pertengkaran yang acap kali mewarnai lewat telepon membuat Nora memikul beban yang begitu beratnya sampai-sampai Nora nyaris kehilangan bayi yang ada dalam kandungannya. “Kau tak akan pernah mengerti bagaimana aku dan setiap sakit yang kau goreskan adalah satu kekuatan untuk aku dan juga bayiku bertahan bersama. Yang kau tahu hanyalah bagaimana melukis setiap kisah berdarah dalam memorimu dan menggantungkannya pada dinding sejarahmu”. Gumam Nora memiris *** Waktu yang dinanti-nantikan oleh Nora dan juga orang tuanya akhirnya datang juga, tepat pukul 05: 10 wita, Nora melahirkan putra pertamanya dengan selamat di rumah. Hal ini membuat keluarga Nora merasa sangat bahagia apalagi Nora yang kini sudah menjadi seorang ibu. Rasanya masih tak percaya dirinya kini memiliki seorang anak. Sebelum persalinannya di rumah, Nora sempat dibawa ke rumah sakit oleh keluarganya. Namun ,tiba di rumah sakit ia diperiksa oleh bidangdan katanya ini masih dalam pembukaan dua kemungkinan untuk melahirkan masih lama rentang waktunya bisa sampai besok. Bidan memberikan penjelasan akan kondisi Nora yang mau melahirkan, disarankan untuk kembali saja dulu ke rumah karena melihat kondisi pasien agak tertekan dengan suasana di rumah sakit. Keluarga Nora mempertimbangkan hal tersebut dan juga memperhatikan wajah Nora yang memang agak stress dengan keadaan yang ada di sekitarnya. Akhirnya orang tua Nora memutuskan untuk membawa Nora kembali kerumah dengan meminta dulu persetujuan dari Nora dan ia pun menyetujuinya. Kembalilah Nora dan keluarganya ke rumahnya. Tante Nora yang bernama Rosma merasa sangat sedih melihat keadaan Nora. Rosma tahu betul kalau Nora menahan rasa sakit yang amat dahsyat namun Nora tak pernah mengeluh akan rasa sakit itu karena ia tak ingin membuat orang tua dan keluargax panik. Air ketubang Nora sudah pecah rasa sakit kini semakin mengguncannya, perjuangannya selama 7 jam kini sudah selesai. Malaikat kecil Nora akhirx melihat dunia. Kelahiran malaikat kecil itu membawa kebahagiaan yang tak bisa diungkapkan oleh Nora. Semua masalah dan rasa sakit yang dirasakan Nora sekejab hilang ketika melihat wajah polos malaikat kecilnya yang selalu memberi kedamaian di hatinya. Mengasuh anak menjadi hal yang harus di pelajari Nora. Namun berbekal dukungan orang tua dan rasa cinta mereka, apapun selalu ada solusinya dan mereka bisa melewati masa sulit tersebut. Beberapa bulan berlalu hingga malaikat kecil Nora sudah mulai rewel. Mengasuh satu anak hingga sebesar ini rupanya membuat Nora merindukan suaminya Kris. ***** Malam dengan suasana yang begitu dingin Nora merangkul anaknya, didekatnya ada ayah dan ibunya Nora yang selalu setia mendampingi Nora. “ Ayah-ibu, ada hal yang ingin kusampaikan pada kalian mengenai aku dan mas Kris” “Bicaralah anakku, kami berdua sudah lama menunggu momen untuk kamu bicara soal ini” “Bu… aku sudah bicara dengan mas Kris mengenai rumah tangga kami, aku berpikir selama ini mungkin aku dan mas Kris memang harus mengakhiri hubungan kami. Tetapi, sejak kelahiran anakku Nathan, aku berpikir lagi bahwa aku akan memberikan kesempatan kedua pada mas Kris untuk memperbaiki rumah tangga kami, ini juga demi kebaikan anakku Nathan. Aku tak ingin anakku menderita hanya karena keegoisan kami berdua, aku juga ingin anakku bisa merasakan kasih sayang seorang ayah seperti anak-anak yang lainnya” “ Apa kau sudah yakin dengan semua ini nak..” “Iya bu…aku sedah memikirkan ini dengan matang” “Jika itu sudah menjadi keputusan kamu, sebagai orang tua kami hanya mendukung apa yang menjadi keputusanmu dan yang terbaik menurutmu” “Namun, aku mengajukan syarat kepada mas Kris untuk kembali kepadaku, syarat yang pernah di katakan waktu itu” “Iya sayang…” “Makasih ya ayah-ibu untuk semua hal yang telah kalian lakukan untukku, aku tidak akan bisa sekuat dan setegar ini jika bukan semangat dan dorongan dari ayah dan ibu, yang tak mengenal kata lelah untuk menyayangi dan mencintaiku” “kau adalah permata dalam hati kami sayang yang akan kami jaga dan lindungi selalu”. Suara tangisan Nathan membuat suasana haru menjadi buyar seketika. Dengan perlahan Nora menggendong anaknya dan menenangkan dalam pelukannya . ***** Setahun sudah berlalu, tak terasa Nathan sudah sebesar ini. Melihat Nathan yang sudah semakin pintar dengan berbagai macam tingkahnya yang menggemaskan membuat suami Nora ingin memiliki anak lagi. Namun, Nora agak menolak dengan alasan masih ingin mengecek kedokter perihal kondisinya. Setelah semalam suntuk Nora tak bisa tidur karena sakit kepala kembali menyerang Nora. Namun Nora tak ingin mengatakan itu pada mas Kris. kondisi ini beberapa kali terjadi hingga setengah tahun lamanya. Membuat mas Kris sedikit berpaling dari Nora. Apalagi di sekolah tempat mas Kris mengajar, ada seorang stap baru yang membuat mas Kris merasa nyaman bersama wanita itu. Namanya Viky. Sedikit demi sedikit Viky mulai menguasai pikiran dan hidup mas Kris. Membuatnya jarang pulang tepat waktu dan membuat Nora heran. "Kok sering pulang telat, Mas?" tanya Nora. "Lembur.." mas Kris menjawab pendek sambil mengganti pakaiannya. Ia sebenarnya masih mencintai Nora, namun di sisi lain ia makin dekat dengan Viky. Ia merasa hubungannya dengan Nora hambar serta membosankan akhir-akhir ini. Kali ini bukan karena Nora menolak punya anak lagi, namun kesibukan Nora dan mas Kris membuat pria ini merasa jarak mereka makin jauh dan Nora seolah tak melihat hal itu sama sekali. Kehidupan pernikahan Nora dan mas Kris makin menjemukan. Nora makin bekerja keras dalam karirnya sehingga fokusnya seringkali hanya pada anak dan karir. Nora memang lebih pendiam kalau sudah pulang kerumah apalagi kalau sudah mengahbiskan waktunya bersama anaknya Nathan, tapi Herman pikir mungkin hal ini disebabkan oleh keperluan anak mereka yang makin banyak. beberapakali hubungan Nora dan mas Kris menegang oleh pertengkaran-pertengkaran kecil. Mas Kris sering pulang malam dan Nora mulai curiga dengan apa yang dilakukan oleh suaminya di luar rumah. "Aku kerja. Aku kan juga nggak pernah protes ketika kamu pulang malam, Nor," kata mas Kris dengan nada tinggi. "Kamu berubah, Mas. ngajar juga nggak mungkin pulang malam terus kan?" Nora membalas. Mas Kris mendengus sebal dan menyahut, "Kamu tanya saja sendiri pada dirimu, kenapa aku jadi nggak betah. Kamu terlalu sibuk dengan karirmu, aku juga bisa kalau begini caranya." Ia sebenarnya sakit mengucapkan hal ini pada Nora. Namun emosinya sudah lama tertahan dan kali ini ia merasa muak pada omelan istrinya Nora. Viky juga mulai berani mempengaruhi mas Kris untuk menceraikan istrinya. Awalnya mas Kris ragu, namun makin sering mas Kris dan Nora bertengkar di belakang anaknya. Hal ini mulai membuat mas Kris merasa tidak nyaman. Mas Kris pun mulai menyampaikan keinginannya untuk bercerai. Tentu saja hal ini membuat hati Nora hancur setengah mati. Nora menolak perceraian itu karena tidak ingin anaknya Nathan merasakan keluarga yang hancur retak. Nora tak ingin anaknya Nathan diolok-olok oleh temannya karena kesalahan orang tuanya. Namun mas Kris makin menghancurkan hati Nora karena menyodorkan surat pengajuan cerai beberapa hari setelah ia menyampaikan keinginannya itu. Semalaman Nora memandangi surat cerai terhampar di meja kerjanya, sementara mas Kris tidur dengan tidak nyenyak di ranjangnya. Keesokan paginya, Nora menyerahkan surat itu pada mas Kris dengan mata sembab karena sesekali menangis dan belum tidur semalaman. "Aku akan menandatanganinya setelah tiga bulan dari sekarang. Dalam waktu tiga bulan itu, aku ingin Mas selalu menggendong aku dari ranjang ke meja makan untuk sarapan setiap pagi. Juga dari ruang keluarga ke kamar tidur setiap malam," ujar Nora dengan suara setengah serak seperti orang yang semalaman belum tidur. Mas Kris merasa agak aneh dengan permintaan istrinya Nora, namun ia tetap menyanggupi permintaan itu. Ia pikir istrinya hanya ingin mengulur waktu cerai dan membuat mas Kris kembali. Mendengar kabar rencana perceraian Nora dan mas Kris itu, Viky sedikit menertawai ulah Nora. "Ada-ada saja. Setelah kondisi sudah seperti ini, baru istrimu merajuk untuk bisa kembali." Begitulah, sesuai janjinya, mas Kris selalu menggendong Nora setiap pagi dan malam. Mas Kris bisa merasakan Nora lebih bersandar padanya, namun di sisi lain mas Kris berpikir bahwa Nora mungkin juga sedang menikmati momen-momen akhir bersamanya. Sebentar lagi mas Kris tetap akan menceraikannya dan membawa Viky dalam kehidupan barunya. Pemandangan romantis antara Nora dan mas Kris membuat anaknya Nathan kadang bersorak pada kedua orang tuanya itu. Hal ini membuat mas Kris sedikit berbesar hati. Namun, mas Kris meneguhkan dirinya agar tak mudah termakan suasana, Sementara Nora hanya tersenyum penuh makna sambil bergelayut di leher suaminya ketika digendong. Diam-diam, mas Kris merasa istrinya Nora makin kurus dari hari ke hari. Setiap gendongannya terasa makin ringan. Mas Kris memandangi wajah istrinya sesekali ketika menggendongnya sembari mengecup keningnya. Nora nampak lelah belakangan ini, kantung matanya sering kelihatan membesar dan ia sering menyandarkan kepalanya ke dada mas Kris. Hal ini membuat mas Kris mulai ragu dengan keputusannya bercerai, ada kehangatan merasuk di dadanya setiap kali menggendong istrinya Nora. Tanpa terasa, mas Kris mulai merasakan cinta kembali bersemi pada hubungannya dengan Nora. Mas Kris merasa istrinya makin cantik dari hari ke hari, hingga hari-hari penandatanganan surat cerai itu makin dekat. Saat mas Kris hendak menggendong Nora di pagi hari terakhir dari tiga bulan perjanjian itu, Nora menahan tangan mas Kris. "Kan hari ini sudah genap waktunya, Kamu nggak perlu gendong aku lagi, Mas." Mas Kris tersenyum saja dan membawa Nora ke meja makan. Ia menyajikan sarapan lalu mengecup kening Nora, "Sarapan aja, Nora. Selamat pagi." Begitulah Nora dan mas Kris menghabiskan sarapan mereka dengan lebih hangat dan mesra. Namun di akhir sesi sarapan, Nora memberikan surat cerai yang sudah ditandatangani dan dibungkus amplop. "Ini, Mas. Terima kasih selama ini sudah mencintaiku," ujarnya sambil menitikkan air mata. Mas Kris terpana, namun surat itu diterimanya. Sebelum berangkat ke sekolah, mas Kris memeluk Nora. Di sekolah, mas Kris mengatakan pada Viky bahwa ia mengurungkan niatnya bercerai. Tentu saja wanita itu begitu kesal mendengar ucapan yang keluar dari mulut mas Kris dan menampar wajah mas Kris keras-keras. Ia tahu dengan konsekwensi ini, ia siap menerimanya karena sejauh ini ia dan Viky belum sampai berhubungan badan. Ia bersyukur masih bisa mengendalikan dirinya selama ini dari berzina. Sekarang yang ada di benak mas Kris adalah Nora. Mas Kris masih ingat dengan bulir air mata Nora yang hangat jatuh di tangannya tadi pagi. Mas Kris merasakan cinta itu dan tak sabar ingin segera pulang. Mas Kris bahkan menyempatkan diri membeli buket bunga paling indah kesukaan Nora dan bergegas pulang sore itu. Sesampainya di rumah, mas Kris memanggil-manggil nama istrinya Nora. Namun ia tak juga mendengar jawaban. Hingga mas Kris melihat Nora di kamarnya, tidur dengan piyama yang masih melekat di tubuhnya tadi pagi. Namun saat mas Kris mendekatinya, Nora sudah tidak bernyawa lagi. Mas Kris tidak percaya, bagaimana mungkin Nora bisa meninggal? Ia mengguncang tubuh dan wajah Nora sambil memanggil namanya. Kepergian Nora menjadi penyesalan yang tak terperi bagi mas Kris. Rupanya selama ini Nora mengidap penyakit parah yang tak sempat disampaikannya pada mas Kris. Di kala istrinya itu tengah memikirkan sendirian dan berjuang melawan penyakitnya, mas Kris malah sibuk dengan rencana perceraian mereka. Nora dimakamkan keesokan harinya, diiringi rasa sedih dan duka dari mas Kris dan putra mereka, Nathan. Kendari, 22 Februari 2013 belajar memahami bahwa tak semua yang kita harapkan bisa kita dapatkan ,ikhlas menerima kesalahan dan belajar dari tiap kesalahan, karena itu yang menjadikan kita kuat dalam menjalani hidup. “Aku Kenangan” Luka dan cinta itu masih kuternakkan, aku temukan diriku disana juga dirimu belepotan penuh dawat cinta penuh rindu merindang, lalu aku dan kamu menyelam hingga ke telaga kenangan.

Oleh Mariana Ulfa Prahara

Menanti di Pohon Jati


Siang itu mentari begitu terik. Dengan iringan lagu Ana’ Kukang dari hape milikku, ingin kutulis semua unek-unek yang bertumpuk dalam batok kepalaku. Semuanya kutumpahkan dalam kertas ini hingga jadilah cerita.
  ***

Tiba-tiba suara tangis dari luar rumah mengagetkanku. Tangisan pilu itu membuatku berhenti menggoyangkan tanganku dari papan komputer. Aku tersentak. Diam. Kucoba mengintip di balik jendela kamarku, namun aku tak melihat siapa pun di luar sana. Aku hanya melihat sebatang pohon yang tumbuh tak jauh dari tempat tinggalku. Yah, sekitar dua puluh meter dari kamarku. Meski sudah tak berdaun, pohon itu masih berdiri kokoh. Pohon itu pasti sudah berumur puluhan tahun karena batangnya yang memang sudah tak muda lagi.

Kukerutkan keningku dan perlahan kembali ke depan komputer yang selalu setia menemaniku. Kunyalakan sebatang rokok LA Lights dan mengisapnya dalam-dalam hingga kepulan asap pun memenuhi kamarku yang mungil. Imajiku kembali mencoba menjelajah jauh. Namun, belum sempat kuterawangkan pikiranku, tangisan itu kembali menari pada gendang telingaku. Konsentrasiku pun buyar. Kucoba mencari tahu sumber suara tadi. Lima menit, sepuluh menit berlalu. Isak itu seolah terkubur bersama sepi. Yah, suara itu tak terdengar lagi. Rasa penasaranku kian memburu nafasku yang mulai tak beraturan. Rasa takut! Mungkin iya atau mungkin juga tidak. Dari mana asal tangisan itu? tanyaku dalam hati.

Jam telah menunjukkan pukul 13.30. Cahaya mentari masih memanggang bumi. Suasana di sekitar tempat tinggalku begitu sepi. Penghuni rumah sebelah pasti sedang terpulas atau mungkin juga belum pulang kuliah. Aku belum beranjak dari tempat dudukku. Kubalikkan tubuhku hendak membangun-kan Kudus yang sedang tidur di atas kasur yang sudah mulai membatu, tapi niat itu kuurungkan. Beberapa menit berlalu, suara tadi terdengar lagi tapi kali ini terdengar agak jauh.

Siapa yang menangis di luar sana? gumamku.

Kembali kudekatkan kelopak mataku ke jendela dengan harap bisa melihat asal suara itu. Namun, lagi-lagi aku terkejut. Kali ini bukan dari suara aneh tadi. Tapi, Kudus yang baru saja terbangun dari lelapnya mengagetkanku.

He…..! Apa yang sedang kamu lakukan? tanya Kudus dengan logat Ambonnya yang sangat kental.

Dengan gerakan refleks, aku langsung membalikkan tubuhku yang tinggal tulang terbalut sedikit daging.

Ah, kamu! kataku.

Kenapa kamu mengintip di jendela? Memang, ada apa di luar sana? tanyanya lagi.

Tidak ada. Aku cuma heran, siapa yang menangis di luar sana?

Kamu ada-ada saja. Dari tadi aku tak mendengar apa-apa. Ia membantah perkataanku sambil berjalan ke arah pintu kamar. Kudus pasti ke kamar kecil. Sudah menjadi kebiasaannya, bangun dari tidur pasti ke kamar kecil.

Ah, Kudus tidak mungkin mendengar tangisan tadi, diakan lagi tidur. Sudahlah! Aku mencoba meyakinkan diriku. Kutarik nafas dalam-dalam dan mencoba menenangkan pikiranku yang kelelahan karena beberapa hari aku tidak pernah tidur di siang hari, bahkan pada malam hari. Aku hanya menghabiskan waktuku di depan sebuah komputer tua yang kubeli dua tahun lalu dari seorang teman.

Kucoba untuk tidak terpengaruh oleh suara-suara aneh yang mungkin saja hanya halusinasiku. Namun, lagi-lagi aku tak bisa berkonsentrasi. Aku tiba-tiba saja teringat pada cerita teman sekostku, Hendra. Dua minggu sebelum Hendra pindah kost juga pernah mendengar hal yang sama seperti apa yang aku dengar siang ini.

Kejadian itu terjadi tepat sebulan yang lalu. Saat pulang dari acara musyawarah besar jurusannya di kampus sekitar pukul 14.00, Hendra yang biasa pulang sendiri tiba-tiba saja mendengar suara aneh dari balik pohon di depan kostnya. Suara itu persis sama dengan suara yang kudengar siang ini. Karena kaget, Hendra dengan sedikit berlari langsung memasuki rumah kost yang dihuni sebelas orang. Kemudian ia mengintip dari jendela kamarnya yang kebetulan bersebelahan dengan kamar yang aku tempati sekarang. Hendra mencoba melihat ke luar. Namun, pandangannya tak menjumpai siapa pun. Hanya suara itu yang terdengar. Berulang kali hingga matahari kembali ke peraduannya. Karena kelelahan dan sumber tangisan tak ia lihat, Hendra akhirnya tertidur.


Malam sebentar lagi menunjukkan kege-lapannya. Alunan ayat-ayat Al Quran membahana dari mesjid di lorong sebelah yang terletak tidak jauh dari kontrakan Hendra. Hendra pun terbangun. Setelah mencuci muka dan minum segelas air putih, ia kembali mengintip di balik jendela. Isak tangis itu tidak terdengar lagi. Dengan rasa penasaran yang masih menjelajah di batok kepalanya, Hendra memberanikan diri keluar rumah dan mendekati pohon jati yang sudah tak berdaun itu. Ia ingin tahu siapa yang menangis di balik pohon itu.

Sekitar dua meter dari pohon itu, ia meng-hentikan langkahnya. Perasaan ragu dan was-was kini menghampirinya. Lama juga ia berdiri di tempatnya. Setelah menarik nafas panjang, Hendra melanjutkan langkahnya dengan pelan. Beberapa kali mengelilingi pohon itu, ia tak menemukan siapa-siapa di sana. Yang ia temukan hanya sepotong kain berwarna putih yang sudah berubah warna menjadi kecoklat-coklatan.

Mungkin kain ini milik orang yang sejak siang tadi menangis. Tapi, ke mana orang itu?, katanya dalam hati.Rasa penasaranku kian menjadi mengingat pengalaman yang pernah dialami Hendra. Sampai-sampai aku tak menyadari jika Kudus sudah kembali ke kamar dan melanjutkan tidurnya.

Pikiranku pun mulai tak beraturan. Ah, jangan-jangan suara itu adalah suara penghuni pohon jati itu, kataku dalam hati. Isak tangis itu masih sesekali terdengar. Kugaruk kepalaku yang tidak gatal. Lebih baik aku mencari tahu suara siapa itu. Dan mudah-mudahan saja, selendang yang dimaksud Hendra juga bisa aku temukan, bisikan nuraniku membekaliku sedikit keyakinan.

Dengan sedikit keberanian yang kumiliki, aku mencoba mendekati sumber tangisan itu. Tepatnya di belakang pohon jati tua itu. Mendekat dan kian mendekatinya. Kulihat sosok perempuan sedang duduk di bawahnya. Tangan kanannya memegang sehelai kain, seperti selendang. Aku yakin kain itu yang pernah Hendra ceritakan padaku. Perlahan aku mendekati-nya, tapi ia tak bergerak atau menoleh kepadaku.

Apakah ia tak mendengar langkah kakiku? Ataukah ia memang tak merasakan kehadiranku?, kepalaku kini dipenuhi tanda tanya. Tanya yang tak menuai jawab.

Aku tetap melangkah mendekatinya dan semakin dekat. Kini aku berdiri di sampingnya. Aku terdiam. Aku memperhatikannya menatap sehelai selendang usang yang digenggamnya. Kedua pipinya tampak basah. Mungkin karena menangis. Yah, aku yakin ia menangis. Suara tangisan perempuan ini yang aku dengar. Tangisan lara yang amat memilukan. Tangisan yang membuatku tak bisa berkonsentrasi menyelesaikan luapan unek-unekku. Pertanyaan dalam benakku pun kian sesak. Apa yang ditangisi perempuan ini?, tanyaku dalam hati.

Mengapa engkau menangis di bawah pohon ini?, tanyaku pada perempuan itu. Namun, perempuan itu tak menjawab pertanyaanku. Dia masih terus meneteskan air mata. Bahkan semakin keras. Aku jadi bingung sendiri. Apa yang harus aku lakukan agar perempuan ini berhenti menangis?, gumamku.

Aku berusaha berpikir keras mencari tahu apa yang ditangisi perempuan ini. Siapa tahu aku bisa membantunya. Meski aku sendiri belum tahu apa yang membuatnya menangis.

Mengapa engkau menangis?, tanyaku lagi.

Rupanya perempuan itu mulai menyadari kehadiranku. Ia menatapku kosong. Entah apa yang ia pikirkan. Tapi tak satu kata pun yang ia lontarkan. Hanya tatapan matanya yang seolah membisikkan apa yang membuat ia menangis.

Apa yang membuatmu menangis? Untuk yang ketiga kalinya, aku mengulang pertanyaanku.

Semua telah pergi, jauh. Tak ada lagi yang tersisa. Semuanya sirna.

Akhirnya, bibir perempuan itu berucap juga. Aku mulai sedikit lega. Kutarik nafas dalam-dalam untuk menghilangkan rasa tegang yang mendekapku.

Siapa yang pergi?, tanyaku dengan suara yang hamper tak terdengar.

Dia.. .. .. .. !!!

Dia siapa?

Orang yang paling aku sayangi. Lelaki yang selalu aku tunggu menemuiku di tempat ini. Di bawah pohon ini, katanya seraya menundukkan kepala, kemudian ia menangis lagi.

Siapa lelaki itu? Dan mengapa harus di bawah pohon jati ini? Aku kian penasaran dan ingin segera tahu siapa yang membuat perempuan ini sakit hati. Namun, perempuan itu tak langsung menjawab. Dipandanginya selendang usang di tangan kanannya, lalu ia menangis lagi. Aku mulai merasa iba padanya.

Darsan. Lelaki yang kucintai dengan sepenuh jiwa dan ragaku. Lelaki itu yang aku tunggu di bawah pohon ini. Dia juga yang membuatku meneteskan air mata.

Aku tercengan mendengar perkataannya. Aku hanya menjadi penyimak yang baik karena aku belum mengerti apa yang menimpa perempuan ini.

Ada apa dengan Darsan?, tanyaku seolah kenal dengan Darsan yang ia maksud. Meski aku tak pernah mengenal lelaki yang dicintainya itu.

Lima tahun lalu, aku jatuh cinta pada seorang lelaki. Dialah Darsan. Lelaki yang tak segaja bertemu denganku di sebuah acara pernikahan salah seorang keluargaku adalah awal dari semua yang kualami. Ternyata Darsan juga memiliki perasaan yang sama denganku, hingga aku dan dia memutuskan untuk menjalin kasih. Kami saling mencintai. Kami selalu memandang matahari yang tenggelam dari tempat ini. Yah, di bawah pohon inilah kami biasa menghabiskan waktu melukis langit dengan canda dan tawa. Di tempat ini pulalah Darsan memberikan selendang ini pada hari ulang tahunku, dimana aku saat itu berusia 18 tahun. Aku sangat bahagia berada di sisinya. Begitu indah hingga rasa cintaku semakin dalam padanya. Tapi, itu hanya berlangsung dua tahun, sedangkan tahun ketiga sampai detik ini, kebahagiaan itu tak pernah lagi ada. Darsan meninggalkan cintaku di sini. Meninggalkan kenangan yang pernah kami jalani. Dia meninggalkanku tanpa pamit. Dia tak pernah mengabariku tentang keberadaannya. Entah dimana dia berada saat ini. Aku merindukannya. Karena rasa cintaku padanya, aku selalu duduk di tempat ini sampai malam tenggelamkan rona merah di ufuk sana. Menangis, menangis, dan menangis. Hanya itu yang bisa aku lakukan, sebab keluarganya tak pernah setuju dengan hubungan kami. Aku pasrah dengan nasib yang aku alami. Aku selalu berdoa pada Tuhan dan berharap Dia mengembalikan Darsan padaku.

Tak terasa cairan bening di kedua pipinya kembali mengalir. Aku seolah merasakan penderitaan yang dialami perempuan itu. Tuhan, berikan perempuan ini ketabahan dalam menjalani hidupnya. Pertemukan dia dengan orang yang sangat dicintainya.

Malam telah bertahta di bumi. Lampu-lampu jalan di sekitar tempat tinggalku memancarkan cahayanya. Nampak indah. Namun aku tak bisa merasakan gemerlapnya malam karena masih terpikir dengan apa yang dialami perempuan yang kutemui sore tadi. Ke mana rimbanya sang kekasih yang sangat dicintainya?


    Sejak sore itu, aku selalu menemuinya dan memberinya semangat agar ia tegar menghadapi masalahnya meski aku sendiri tidak mengenalnya. Namanya siapa. Tempat tinggalnya di mana. Dan siapa orang tuanya. Aku hanya mengikuti perasaan tak tega melihat ia menangis dan meratap setiap hari. Aku harus bisa membuatnya tertawa sebab aku tidak melihat ketegaran di parasnya. Yang kulihat hanya kesedihan yang amat dalam. Dan lagi-lagi, entah bisikan apa yang mendorongku untuk melakukan hal itu. Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja rasa iba merasuki perasaanku. Aku pun bertekad untuk menghiburnya. Mengajaknya bercanda dan kembali menikmati hidup yang begitu indah. Aku berharap perempuan itu tak lagi meneteskan butiran bening dari kelopak matanya setiap hari.

Perlahan aku pun bisa membuatnya kembali tersenyum. Aku bisa membuatnya tertawa dan tidak terlalu larut dalam kesedihannya. Aku selalu berpesan kepadanya untuk tidak terlalu memikirkan apa yang menimpanya. Kau harus tahu, terkadang Tuhan tidak memberikan apa yang kita minta, tetapi Dia akan memberikan apa yang kita butuhkan. Bukan kita yang menentukan hidup kita. Kita hanya berencana dan Tuhan yang punya kehendak. Yakinlah bahwa di balik semua ini, Tuhan telah mengatur sesuatu yang terbaik untukmu.


Waktu terus bergulir. Tak terasa memang. Kesibukan membuatku terkadang tak bisa lagi menemuinya seperti hari-hari sebelumnya. Kini aku hanya bisa menemuinya sekali dalam seminggu. Bahkan pernah hanya sekali sebulan aku bertemu dengannya. Hingga pada suatu waktu, aku istirahat dari segala aktivitasku. Aku libur.

Senja sebentar lagi terbangun dari lelapnya. Sore itu aku berniat ingin menemuinya. Namun, perempuan itu tak juga muncul hingga gelap menutupi separuh permukaan bumi. Ke mana perginya perempuan itu? Apakah ia telah bertemu dengan orang yang dinantinya, Darsan? Tanyaku dalam hati.

Detik, menit berganti jam dan jam pun berganti hari. Begitupun hari terus berlari berganti minggu. Namun, aku tak lagi menemukan perempuan itu duduk menanti sang pujaan hati yang rimbanya tak meninggalkan jejak. Dan entah mengapa, tiba-tiba aku ingin menemuinya seperti hari-hari yang telah lalu. Tapi di mana? Namanya saja aku tidak tahu. Lalu, ke mana aku mencari alamatnya. Aku harus bertanya pada siapa? Apa aku harus mencarinya di setiap sudut kota ini? Ah, rasanya tidak mungkin.

    Pertanyaan demi pertanyaan hadir mengisi kepalaku yang telah sesak dengan masalah akademik. Pertanyaan yang tak kunjung menemui jawab. Pertanyaan yang telah menggunung dalam kepalaku. Hingga suatu hari, saat matahari sebentar lagi terlelap. Aku berencana ke tempat kost sahabatku, Kudus. Bagiku, letaknya tak jauh dari tempat tinggalku. Hanya sekitar satu kilometer atau lebih. Seperti biasa, aku hanya berjalan kaki. Tapi, kadang juga memakai sepeda butut peninggalan kakekku. Langkahku menapaki jalan tanpa aspal dan dipenuhi debu yang beterbangan ke manapun angin membawa-nya dan hinggap di mana saja. Aku terus melangkah seraya berpikir dan mencari cara untuk bisa menemukan alamat perempuan yang tak kukenal asal-usulnya. Saat aku melangkahkan kakiku di antara orang-orang berpakaian serba hitam, aku seperti tertampar. Entah apa yang terjadi. Apakah ini pertanda akan terjadi sesuatu? Ataukah sesuatu telah terjadi? Tapi apa? Karena ada rasa penasaran dengan sekumpulan orang-orang itu, aku mendekat dan iseng bertanya.

Siapa yang meninggal? Tanyaku pada seorang perempuan setengah baya yang sedang duduk terisak sendu.

Ayu, jawabnya singkat.

Aku mengerutkan keningku. Ayu itu siapa? Tanpa bertanya lagi, perempuan itu kemudian melanjutkan perkataannya. Perempuan itu mencerita-kan kisah Ayu semasa hidupnya sampai ia dipanggil oleh Sang Khalik. Aku serasa berada di alam mimpi. Seolah tak percaya dengan cerita perempuan itu.

Hingga akhirnya pertanyaan-pertanyaan yang selalu muncul dalam benakku terjawab sudah. Perempuan yang kutemui beberapa bulan lalu duduk dan menangis di bawah pohon jati itu bernama Ayu. Dan kini, ia telah menghembuskan nafas terakhir karena penyakit yang telah lama dideritanya. Cinta terhadap kekasih yang raib tanpa pamit terkubur bersama jasadnya. Penantiannya di dunia telah berakhir untuk selamanya. ###



Enam Mata Badik

Muhajirin, Juni 2009

Kuselesaikan saat Makassar sedang tertidur pulas

Luka Musim

    Marah, meratap, mengeluh, meraung, menjerit, jengkel, tertawa, menangis. Entah apa lagi. Ia terdiam mencoba mengingat yang sedang menimpanya. Kecewa, menangis, benci, rindu, cinta, kemunafikan… Dusta. “Ah lagi-lagi menangis ada”. Pikirnya. Masih terdiam menerawang ke jejak kemarin. Sakit hati, sedih, merana, trauma, menagis. “Ah lagi-lagi menangis ada”. Keluhnya. Lalu dia seperti kehilangan kata. Bahkan seperti kehilangan nafas, ataukah ia benar-benar telah kehilangan nafas. Entahlah…Tak ada data falid yang bisa membuktikannya, juga tak ada teori yang dapat menopangnya. Kalau dia benar-benar telah kehilangan nafas. Hanya saja wajahnya kini kian tirus, tulang-tulangnya kian menonjol seakan ingin mengintip retinanya yang selalu sembab oleh tetesan bening dari kelopak matanya. Langkahnya kian lunglai, seakan gairah hidupnya telah layu sebelum jadi putik.
    Namanya Arnando Sarabuddin, tapi ia biasa disapa Nande’ Meskipun ia benci dengan nama itu karena dianggap terlalu kedaerahan. Dia berasal dari Sinjai kabupaten sebelah selatan kota Daeng. Tubuhnya tidak terlalu tinggi sekitar 165 cm, kulitnya kuning langsat. Mungkin karena terlalu banyak makan rambutan dan langsat. Tatapan matanya teduh. Dua tahun yang lalu dia mulai menetap di Makassar. Nande kuliah di salah satu perguruan tinggi di kota ini. Dia juga aktif  diberbagia organisasi. Baginya organisasi bisa dijadikan batu loncatan menuju taraf hidup yang lebih baik. Sebagai mahasiswa yang jauh dari orang tua, Nande dituntut tuk dapat hidup mandiri dan hemat. Sejak dini dia telah diajari kesederhanaan. Dan ia tumbuh dengan bangga menjadi orang yang sederhana. Bahkan dalam doa-doanya dia kadang meminta hanya dua, kecintaan dan kesederhanaan. Baginya ketika dia dianugerahi dua hal itu, maka kedamaian akan temaninya bermain dengan hidup. Sebagai seorang lelaki yang normal dia juga tak bisa memisahkan diri dari ketergodaan terhadap kembang waktu. Entahkah itu sebagai sumber inspirasinya, sekadar popularitas terhadap temannya, ataukah untuk dijadikan sebagai zohar bagi hidupnya. Tapi ia tak mudah mencintai dengan sepenuh hati seorang cewek. Terhitung baru tiga cewek yang benar-benar dicintainya. Sadriana, gadis kuning langsat yang ia pacari ketika kelas dua ESEMA. Putus setelah tiga bulan lima belas hari pacaran. Firta gadis temboi yang mempunyai sejuta pesona tuk taklukan lelaki. Tak ada kata putus hingga keduanya berpisah, mulai menjalin hubungan ketika ia semester dua diperguruan tinggi. Rarah gadis feminim, hitam manis, lemah lembut dan pandangannya seperti telaga yang menyejukkan, tutur sapanya seperti nyanyian musim. Di putuskan setelah menjalin hubungan selama seratus dua puluh delapan hari. Yang terakhir inilah yang membuatnya lunglai. Nande tak pernah mencintai seperti ia mencintai Rarah. Dia sering berharap Rarahla dermaga  asa dan mimpinya yang terakhir. Rarahlah yang kan jadi muara tuk menampung tiap cerita hidupnya. Tapi sepoi menghentikan hembusannya kearah itu. Dan gerimis merintikkan kisahnya dengan riak air mata. Ia benar-benar tercabik. Hidupnya pucat pasi. Nadinya beku. Baginya Rarah nyaris serba yang pertama. Tapi Rarah pula yang gentaskan kuncup-kuncup mimpinya karena sebuah kecemburuan. Ini benar-benar menyakitkan
    Menangis, sedih, kecewa, sakit hati. Ia kembali melanjutkan celotehnya tentang derita yang kini menimpanya. Derita yang di teteskan seorang Rarah. Inilah derita cinta sejati, derita yang digores di atas gelombang tak berbuih. Meratap, bergumam, menengadah, mengigau, luka, menagis. “Ah lagi-lagi menangis ada” pikirnya. Perih yang ia alami kini menggunung, menimbun cerahnya. Enam tahun yang lalu ia telah ukir janjinya di sayap malaikat untuk tidak menangis. Apapun yang terjadi, tapi kini janji itu jebol seperti bili-bili  di musim hujan meluap tanpa henti. Satu-satunya yang tak pernah ia rindukan adalah air matanya. Tapi… Saat air matanya mengalir membuat kolam-kolam hitam di pelataran hatinya. Nande baru sadar,  air matanya masih bening, sangat bening. Dan Rarahlah yang memperkenalkan kebeningan air mata itu. Ia akhirnya bisa menangis setelah telaga retinay benar-benar kering.
    Ketawa, bercanda, terisak, bingung, pusing,, berteriak, tidur begitu susah, rapuh, menangis. “Ah lagi-lagi menangis ada” gumamnya. “Kenapa tangis jadi jalan yang begitu indah untuk menumpahkan segalah renyahku” gumamnya kembali. Nande telah jadikan menangis adalah hal paling indah setelah takma cintanya dengan Rarah perlina di telapak keangkuhan dan egoisme. Ia kehilangan sandaran kini. Ia kehilangan cahaya kini. Ia juga telah kehilangan putik-putik harapan untuk membina keutuhan cinta dengan Rarah. Ia kini terluka. Ia mulai bertanya makna namanya apa sebenarnya Apakah Nande berarti kesialan, kegagalan ataukah sakit. Ia memang  tidak pernah tahu makna namanya seperti ketidak tahuannya kenapa Rarah memutuskannya.  Ia kehilangan kini. Ia meratap kini. Dan ia mulai berani melihat air matanya sendiri. Padahal enam tahun yang lalu, menangis adalah hal yang paling di bencinya.  Lelah, sunyi sepi, senyap, gelap, sendu, lara, merana kecewa, menangis, cemburu. Ah lagi lagi menagis ada” kesalnya. Nande kini bukan lagi seorang yang takut pada air matanya sendiri. Rarahlah yang berjasa perkenalkan  air matanya pada dirinya. Pada perasaannya. Nande kini tak lagi mengejek orang yang menangis ia kini telah jadi Nande yang peka. Dan ia juga tak lagi menyesali namanya. Ia bangga dengan nama itu, karena nama itu, setiap orang yang menyebut  maka ia akan menoleh ke negeri Bugis. Ia kini bangga dengan kedaerahannya. Seperti kebanggaannya dalam kesederhanaannya. Dan Nande mulai menyulam kata terima  kasih pada Rarah yang ajarinya menagis, “Ternyata menangis juga indah, maka menangislah karena cinta.  Ungkapnya. Nande mulai membalut cintanya pada Rarah dengan air mata.
Marah. Meratap. Kecewa. Sedih. Lunglai. Rapuh. Harapan. Mimpi. Kegagalan. Hinaan. Sepi. Gerah.  Benci. Curiga.  Menangis.“Ah lagi lagi menangis ada. Apakah air mata akan tetap ada dalam tiap jejak waktu, ataukah dunia ini diciptakan dengan cinta dan air mata” Tanyanya dalam hati. Ia mulai dan acap melantunkan syair pertanyaan itu kepada daksina Ia juga bertanya kapan Rarah  ajarinya berhenti menangis….entahlah…..mungkin esok, lusa atau bahkan tidak sama sekali, maka ia akan terus menangis………

Penulis:  Irhyl’k  Rhantaz 

Makassar, 16 November 2007
Bocah waktu baru saja merangkak, menatap halimun dan mencari zoharnya yang hilang.