Siang itu mentari begitu terik. Dengan iringan lagu Ana’ Kukang dari hape milikku, ingin kutulis semua unek-unek yang bertumpuk dalam batok kepalaku. Semuanya
kutumpahkan dalam kertas ini hingga jadilah cerita.
***
Tiba-tiba suara tangis dari luar rumah mengagetkanku. Tangisan
pilu itu membuatku berhenti menggoyangkan tanganku dari papan komputer. Aku
tersentak. Diam. Kucoba mengintip di balik jendela kamarku, namun aku tak
melihat siapa pun di luar sana. Aku hanya melihat sebatang pohon yang tumbuh
tak jauh dari tempat tinggalku. Yah, sekitar dua puluh meter dari kamarku.
Meski sudah tak berdaun, pohon itu masih berdiri kokoh. Pohon itu pasti sudah
berumur puluhan tahun karena batangnya yang memang sudah tak muda lagi.
Kukerutkan keningku dan perlahan kembali ke depan komputer yang
selalu setia menemaniku. Kunyalakan sebatang rokok LA Lights dan mengisapnya dalam-dalam hingga kepulan asap pun memenuhi
kamarku yang mungil. Imajiku kembali mencoba menjelajah jauh. Namun, belum
sempat kuterawangkan pikiranku, tangisan itu kembali menari pada gendang telingaku. Konsentrasiku pun buyar. Kucoba mencari tahu sumber suara
tadi. Lima menit, sepuluh menit berlalu. Isak itu seolah terkubur bersama sepi.
Yah, suara itu tak terdengar lagi. Rasa penasaranku kian memburu nafasku yang
mulai tak beraturan. Rasa takut! Mungkin iya atau mungkin juga tidak. Dari mana asal tangisan itu? tanyaku
dalam hati.
Jam telah menunjukkan pukul 13.30. Cahaya
mentari masih memanggang bumi. Suasana di sekitar tempat tinggalku begitu sepi.
Penghuni rumah sebelah pasti sedang terpulas atau mungkin juga belum pulang
kuliah. Aku belum beranjak dari tempat dudukku. Kubalikkan tubuhku hendak
membangun-kan Kudus yang sedang tidur di atas kasur yang sudah mulai membatu,
tapi niat itu kuurungkan. Beberapa menit berlalu, suara tadi terdengar lagi tapi kali ini terdengar agak jauh.
Siapa yang
menangis di luar sana? gumamku.
Kembali kudekatkan kelopak mataku ke jendela dengan harap bisa
melihat asal suara itu. Namun, lagi-lagi aku terkejut. Kali ini bukan dari
suara aneh tadi. Tapi, Kudus yang baru saja terbangun dari lelapnya
mengagetkanku.
He…..! Apa
yang sedang kamu lakukan? tanya Kudus dengan logat Ambonnya yang sangat kental.
Dengan gerakan refleks, aku langsung membalikkan tubuhku yang
tinggal tulang terbalut sedikit daging.
Ah, kamu! kataku.
Kenapa kamu
mengintip di jendela? Memang, ada apa di luar sana? tanyanya lagi.
Tidak ada. Aku
cuma heran, siapa yang menangis di luar sana?
Kamu ada-ada
saja. Dari tadi aku tak mendengar apa-apa. Ia membantah perkataanku sambil berjalan ke arah pintu kamar.
Kudus pasti ke kamar kecil. Sudah menjadi kebiasaannya, bangun dari tidur pasti
ke kamar kecil.
Ah, Kudus tidak mungkin mendengar tangisan tadi, diakan
lagi tidur. Sudahlah! Aku mencoba meyakinkan diriku. Kutarik nafas dalam-dalam
dan mencoba menenangkan pikiranku yang kelelahan karena beberapa hari
aku tidak pernah tidur di siang hari, bahkan pada malam hari. Aku hanya
menghabiskan waktuku di depan sebuah komputer tua yang kubeli dua tahun lalu
dari seorang teman.
Kucoba untuk tidak terpengaruh oleh suara-suara aneh yang
mungkin saja hanya halusinasiku. Namun, lagi-lagi aku tak bisa berkonsentrasi. Aku
tiba-tiba saja teringat pada cerita teman sekostku, Hendra. Dua minggu sebelum Hendra pindah kost juga
pernah mendengar hal yang sama seperti apa yang aku dengar siang ini.
Kejadian itu terjadi tepat sebulan yang
lalu. Saat pulang dari acara musyawarah besar jurusannya di kampus sekitar
pukul 14.00, Hendra
yang biasa pulang sendiri tiba-tiba saja mendengar suara aneh dari balik pohon
di depan kostnya. Suara itu persis sama dengan suara yang kudengar siang ini. Karena kaget, Hendra
dengan sedikit berlari langsung memasuki rumah kost yang dihuni sebelas
orang. Kemudian ia mengintip dari jendela kamarnya yang kebetulan bersebelahan
dengan kamar yang aku tempati sekarang. Hendra mencoba melihat ke
luar. Namun, pandangannya tak menjumpai siapa pun. Hanya suara itu yang
terdengar. Berulang kali hingga matahari
kembali ke peraduannya. Karena kelelahan dan sumber tangisan tak ia lihat, Hendra
akhirnya tertidur.
Malam sebentar lagi menunjukkan kege-lapannya. Alunan ayat-ayat
Al Qur’an membahana dari mesjid di lorong sebelah yang terletak tidak
jauh dari kontrakan Hendra. Hendra pun terbangun. Setelah mencuci muka dan
minum segelas air putih, ia kembali mengintip di balik jendela. Isak tangis
itu tidak terdengar lagi. Dengan rasa penasaran yang masih menjelajah
di batok kepalanya, Hendra memberanikan diri keluar rumah dan mendekati pohon jati yang sudah tak
berdaun itu. Ia ingin tahu siapa yang menangis di balik pohon itu.
Sekitar dua meter dari pohon itu, ia meng-hentikan
langkahnya. Perasaan ragu dan was-was kini menghampirinya. Lama juga ia berdiri
di tempatnya. Setelah menarik nafas panjang, Hendra melanjutkan langkahnya
dengan pelan. Beberapa kali mengelilingi pohon itu, ia tak menemukan
siapa-siapa di sana. Yang ia temukan hanya sepotong kain berwarna putih yang
sudah berubah warna menjadi kecoklat-coklatan.
Mungkin kain ini milik orang yang sejak siang tadi menangis. Tapi, ke mana orang itu?, katanya dalam
hati.Rasa
penasaranku kian menjadi mengingat pengalaman yang pernah dialami Hendra.
Sampai-sampai aku tak menyadari jika Kudus sudah kembali ke kamar dan
melanjutkan tidurnya.
Pikiranku pun mulai tak beraturan. Ah,
jangan-jangan suara itu adalah suara penghuni pohon jati itu, kataku dalam hati. Isak tangis itu masih sesekali terdengar.
Kugaruk kepalaku yang tidak gatal. Lebih baik aku mencari
tahu suara siapa itu. Dan mudah-mudahan saja, selendang yang dimaksud Hendra
juga bisa aku temukan, bisikan nuraniku membekaliku
sedikit keyakinan.
Dengan sedikit keberanian yang kumiliki, aku mencoba mendekati sumber tangisan itu. Tepatnya di belakang pohon jati tua itu. Mendekat dan
kian mendekatinya. Kulihat sosok
perempuan sedang duduk di bawahnya. Tangan kanannya memegang
sehelai kain, seperti selendang. Aku yakin kain itu yang pernah Hendra
ceritakan padaku. Perlahan aku mendekati-nya, tapi ia tak bergerak atau menoleh kepadaku.
Apakah ia tak mendengar langkah kakiku? Ataukah ia memang tak merasakan
kehadiranku?, kepalaku kini
dipenuhi tanda tanya. Tanya yang tak menuai jawab.
Aku tetap melangkah mendekatinya dan semakin dekat. Kini aku
berdiri di sampingnya. Aku terdiam. Aku memperhatikannya menatap sehelai
selendang usang yang digenggamnya. Kedua pipinya tampak basah. Mungkin karena
menangis. Yah, aku yakin ia menangis. Suara tangisan perempuan ini yang aku
dengar. Tangisan lara yang amat memilukan. Tangisan yang membuatku tak bisa
berkonsentrasi menyelesaikan luapan unek-unekku. Pertanyaan dalam benakku pun
kian sesak. Apa yang ditangisi perempuan
ini?, tanyaku dalam hati.
Mengapa engkau
menangis di bawah pohon ini?, tanyaku pada
perempuan itu. Namun, perempuan itu tak menjawab pertanyaanku. Dia masih terus
meneteskan air mata. Bahkan semakin keras. Aku jadi bingung sendiri. Apa yang harus aku lakukan agar perempuan
ini berhenti menangis?, gumamku.
Aku berusaha berpikir keras mencari tahu apa yang ditangisi
perempuan ini. Siapa tahu aku bisa membantunya. Meski aku sendiri belum tahu
apa yang membuatnya menangis.
Mengapa engkau
menangis?, tanyaku lagi.
Rupanya perempuan itu mulai menyadari kehadiranku. Ia menatapku
kosong. Entah apa yang ia pikirkan. Tapi tak satu kata pun yang ia lontarkan.
Hanya tatapan matanya yang seolah membisikkan apa yang membuat ia menangis.
Apa yang
membuatmu menangis? Untuk yang ketiga kalinya, aku
mengulang pertanyaanku.
Semua telah
pergi, jauh. Tak ada lagi yang tersisa. Semuanya sirna.
Akhirnya, bibir perempuan itu berucap juga. Aku mulai sedikit
lega. Kutarik nafas dalam-dalam untuk menghilangkan rasa tegang yang
mendekapku.
Siapa yang
pergi?, tanyaku dengan suara yang hamper tak
terdengar.
Dia.. .. .. ..
!!!
Dia siapa?
Orang yang
paling aku sayangi. Lelaki yang selalu aku tunggu menemuiku di tempat ini. Di
bawah pohon ini, katanya seraya menundukkan kepala, kemudian ia menangis lagi.
Siapa lelaki
itu? Dan mengapa harus di bawah pohon jati ini? Aku kian penasaran dan ingin segera tahu siapa yang membuat
perempuan ini sakit hati. Namun, perempuan itu tak langsung menjawab.
Dipandanginya selendang usang di tangan kanannya, lalu ia menangis lagi. Aku
mulai merasa iba padanya.
Darsan. Lelaki
yang kucintai dengan sepenuh jiwa dan ragaku. Lelaki itu yang aku tunggu di
bawah pohon ini. Dia juga yang membuatku meneteskan air mata.
Aku tercengan mendengar perkataannya. Aku hanya menjadi penyimak
yang baik karena aku belum mengerti apa yang menimpa perempuan ini.
Ada apa dengan
Darsan?, tanyaku seolah kenal dengan Darsan
yang ia maksud. Meski aku tak pernah mengenal lelaki yang dicintainya itu.
Lima tahun
lalu, aku jatuh cinta pada seorang lelaki. Dialah Darsan. Lelaki yang tak
segaja bertemu denganku di sebuah acara pernikahan salah seorang keluargaku
adalah awal dari semua yang kualami. Ternyata Darsan juga memiliki perasaan
yang sama denganku, hingga aku dan dia memutuskan untuk menjalin kasih. Kami
saling mencintai. Kami selalu memandang matahari yang tenggelam dari tempat
ini. Yah, di bawah pohon inilah kami biasa menghabiskan waktu melukis langit
dengan canda dan tawa. Di tempat ini pulalah Darsan memberikan selendang ini
pada hari ulang tahunku, dimana aku saat itu berusia 18 tahun. Aku sangat
bahagia berada di sisinya. Begitu indah hingga rasa cintaku semakin dalam
padanya. Tapi, itu hanya berlangsung dua tahun, sedangkan tahun ketiga sampai
detik ini, kebahagiaan itu tak pernah lagi ada. Darsan meninggalkan cintaku di
sini. Meninggalkan kenangan yang pernah kami jalani. Dia meninggalkanku tanpa
pamit. Dia tak pernah mengabariku tentang keberadaannya. Entah dimana dia
berada saat ini. Aku merindukannya. Karena rasa cintaku padanya, aku selalu
duduk di tempat ini sampai malam tenggelamkan rona merah di ufuk sana. Menangis,
menangis, dan menangis. Hanya itu yang bisa aku lakukan, sebab keluarganya tak
pernah setuju dengan hubungan kami. Aku pasrah dengan nasib yang aku alami. Aku
selalu berdoa pada Tuhan dan berharap Dia mengembalikan Darsan padaku.
Tak terasa cairan bening di kedua pipinya kembali mengalir. Aku
seolah merasakan penderitaan yang dialami perempuan itu. Tuhan, berikan perempuan ini ketabahan dalam menjalani hidupnya.
Pertemukan dia dengan orang yang sangat dicintainya.
Malam telah bertahta di bumi. Lampu-lampu
jalan di sekitar tempat tinggalku memancarkan cahayanya. Nampak indah. Namun
aku tak bisa merasakan gemerlapnya malam karena masih terpikir dengan apa yang
dialami perempuan yang kutemui sore tadi. Ke
mana rimbanya sang kekasih yang sangat dicintainya?
Sejak
sore itu, aku selalu menemuinya dan memberinya semangat agar ia tegar
menghadapi masalahnya meski aku sendiri tidak mengenalnya. Namanya siapa.
Tempat tinggalnya di mana. Dan siapa orang tuanya. Aku hanya mengikuti perasaan
tak tega melihat ia menangis dan meratap setiap hari. Aku harus bisa membuatnya
tertawa sebab aku tidak
melihat ketegaran di parasnya. Yang kulihat hanya kesedihan yang amat dalam.
Dan lagi-lagi, entah bisikan apa yang mendorongku untuk melakukan hal itu. Aku
tidak tahu. Tiba-tiba saja rasa iba merasuki perasaanku. Aku pun bertekad untuk menghiburnya.
Mengajaknya bercanda dan kembali menikmati hidup yang begitu indah. Aku
berharap perempuan itu tak lagi meneteskan butiran bening dari kelopak matanya setiap hari.
Perlahan aku pun bisa membuatnya kembali tersenyum. Aku
bisa membuatnya tertawa dan tidak terlalu larut dalam kesedihannya. Aku selalu
berpesan kepadanya untuk tidak terlalu memikirkan apa yang menimpanya. Kau harus tahu, terkadang Tuhan tidak memberikan apa yang kita minta, tetapi Dia akan
memberikan apa yang kita butuhkan. Bukan kita yang menentukan hidup kita. Kita
hanya berencana dan Tuhan yang punya kehendak. Yakinlah bahwa di balik semua
ini, Tuhan telah mengatur sesuatu yang terbaik untukmu.
Waktu terus bergulir. Tak terasa memang. Kesibukan membuatku
terkadang tak bisa lagi menemuinya seperti hari-hari sebelumnya.
Kini aku hanya bisa menemuinya sekali dalam seminggu. Bahkan pernah hanya
sekali sebulan aku bertemu dengannya. Hingga pada suatu waktu, aku istirahat
dari segala aktivitasku. Aku libur.
Senja sebentar lagi terbangun dari
lelapnya. Sore itu aku berniat ingin menemuinya. Namun, perempuan itu tak juga
muncul hingga gelap menutupi separuh permukaan bumi. Ke mana perginya perempuan itu? Apakah ia telah bertemu
dengan orang yang dinantinya, Darsan? Tanyaku dalam hati.
Detik, menit berganti jam dan jam pun
berganti hari. Begitupun
hari terus berlari berganti minggu. Namun, aku tak lagi menemukan
perempuan itu duduk menanti sang pujaan hati yang rimbanya tak
meninggalkan jejak. Dan entah mengapa, tiba-tiba aku ingin menemuinya seperti
hari-hari yang telah lalu. Tapi di mana? Namanya saja aku tidak tahu. Lalu, ke
mana aku mencari alamatnya. Aku harus bertanya pada siapa? Apa aku harus
mencarinya di setiap sudut kota ini? Ah, rasanya tidak mungkin.
Pertanyaan
demi pertanyaan hadir mengisi kepalaku yang telah sesak dengan
masalah akademik. Pertanyaan yang tak kunjung menemui jawab. Pertanyaan yang telah menggunung dalam
kepalaku. Hingga suatu hari, saat matahari sebentar lagi terlelap. Aku
berencana ke tempat kost sahabatku, Kudus. Bagiku, letaknya tak jauh dari
tempat tinggalku. Hanya sekitar satu kilometer atau lebih. Seperti biasa, aku
hanya berjalan kaki. Tapi, kadang juga memakai sepeda butut peninggalan
kakekku. Langkahku menapaki jalan tanpa aspal dan dipenuhi debu yang
beterbangan ke manapun angin membawa-nya dan hinggap di mana saja. Aku terus
melangkah seraya berpikir dan mencari cara untuk bisa menemukan alamat perempuan
yang tak kukenal asal-usulnya. Saat aku melangkahkan kakiku di antara
orang-orang berpakaian serba hitam, aku seperti tertampar. Entah apa yang
terjadi. Apakah ini pertanda akan terjadi sesuatu? Ataukah sesuatu telah
terjadi? Tapi apa? Karena ada rasa penasaran dengan sekumpulan orang-orang itu, aku mendekat
dan iseng bertanya.
Siapa yang meninggal? Tanyaku pada seorang perempuan setengah baya yang sedang duduk terisak
sendu.
Ayu, jawabnya
singkat.
Aku mengerutkan keningku. Ayu itu siapa? Tanpa bertanya lagi,
perempuan itu kemudian melanjutkan perkataannya. Perempuan itu mencerita-kan kisah Ayu
semasa hidupnya sampai ia dipanggil oleh Sang Khalik. Aku serasa berada di alam
mimpi. Seolah tak percaya dengan cerita perempuan itu.
Hingga akhirnya pertanyaan-pertanyaan yang selalu muncul dalam
benakku terjawab sudah. Perempuan yang kutemui beberapa bulan lalu duduk dan
menangis di bawah pohon jati itu bernama Ayu. Dan kini, ia telah
menghembuskan nafas terakhir karena penyakit yang telah lama dideritanya. Cinta
terhadap kekasih yang raib tanpa
pamit terkubur bersama jasadnya. Penantiannya di dunia telah berakhir untuk
selamanya. ###
Enam Mata Badik
Muhajirin, Juni 2009
Kuselesaikan saat Makassar sedang tertidur pulas