Kunamai Sahabat Kabut
Pengirim
Raina
+628242696681
Aku lelah. Setelah semalam
menunggu bintang. Dan paginya mentari pun tak ada. Sepi. Jauh ufuk timur sana mendung mengirim isyarat,
kalau keangkuhan mentari pagi ini takluk oleh hadirnya. Sepi benar-benar meratu
pada di pundak semesta pagi itu. Jalan juga sepi dari derap langkah an deru
kendaraan. Di sekitar tempat kostku pun tak ada siapa-siapa. Maklum musim
final. Untung pagi ini SMS Raina bertandang ke ponselku. Ponsel yang telah
kehilangan uara zaman alias tidak laku. Begitu yang sering dikatakan Farjan,
sahabatku. Tapi saya tak peduli perkataan itu.
“Human lupakan saja tentang Raina,
buang-buang pulsa. Kalian tidak mungkin bertemu. Kalaupun bertemu, tentu dia
tidak akan menatap mukamu lama-lama. Mukamu kayak pisang rebus begitu. Tak
perlu berharap banyak darinya”. Ungkapan Farjan semalam masih terngiang di
telingaku pagi ini. Ungkapan tanpa perasaan sedikit pun.
“Tak perlu berprasangka buruk antara
hubungan berkabut ini dengan Raina. Sebab saya juga tak menginginkannya
melebihi seorang sahabat. Karena hadirku tentu tak akan seindah yang dia
impikan selama ini,” kataku mencoba membela diri. Bertengkar dengan orang
seperti Farjan tak akan ada habisnya. Aku membenci orang seperti itu. Seperti
kebencianku pada para politikus negeri ini. Aku muak padanya. Seperti
kemuakanku pada aktivis mahasiswa dan
LSM. Meneriakkan kebenaran, edealisme dan hak rakyat, Meski banyak dari mereka
yang jadi penjilat. Menukar kebenaran dengan janji-janji palsu yang terukir
suci di atas mimbar orator. Ternoda oleh air liurnya yang meneriakkan yel-yel
kebenaran.
Saya benci hal-hal
berbau politik di negeri ini. Sejak reformasi didengungkan, saya tak
lagi melihat suhu politik di negeri ini mengeluarkan asap yang mengepulkan
damai. Semua tahu, korupsi yang merajalela telah menempatkan negeri rupiah
menjadi negeri yang sekarat. Para politikus terdiam, tidur, ngorok, memangsa
rakyat. Saya lebih mengagumi Raina. Daripada orang yang mengatasnamakan dirinya
adalah tokoh, orang cerdas, cendikiawan yang terbiasa berbicara sampai
berbusa-busa mulutnya. Saya lebih ingin bertemu
Raina daripada para aktivis dan seniman negeri merah putih ini. Saya
lebih mengidolakan Raina daripada artis
negeri ini. Dan saya lebih ingin menghabiskan pulsaku menanyakan kabar Raina
daripada mengesemes kuis-kuis di televisi. Saya lebih ingin menghabiskan
waktuku mengkhayalkan Raina daripada
nonton senitron. Padahal Raina sekalipun tak pernah kujumpai. Saya mengenalnya
hanya lewat SMS saja, sesekali telponan. Tapi auranya telah mampu membuatku
menjadikannya hal yang menyenangkan. Saya juga tak menuntut banyak darinya.
Saya tidak menuntut dia menjadikanku seorang kekasih. Hanya saya ingin Raina
jadi langit nurani yang tak pernah mendung. Tapi itu pun bukan suatu keharusan.
Kalau dia tidak mampu ya dia tak perlu jadi siapa-siapa. Cukup jadi sahabat
kabut yang hanya mampu ditembus oleh signal-signal telepon. Oleh tulisan yang
menjauhi kaidah-kaidah kebahasaan yang telah ditetapkan oleh para pakar bahasa.
“Ada kalanya hidup harus
menunggu, entahkah yang telah berlalu, yang akan datang atau entahkah menunggu
sesuatu yang benar-benar takkan pernah terjadi. Seperti halnya pertemuan antara
kita, meski doa-doa pertemuan selalu kulafaskan”
Kukirim esemes
tersebut pada Raina. Entah esemes yang keberapa kalinya. Tapi aneh saya tak
pernah sedikit pun menyesal tentang semua itu. Dan dia tak serta merta menjawabnya.
Saya tak permasalahkan itu. Meski ia tak
membalasnya saya telah bahagia mampu berbagi dengannya.
“Pasti dia akan menjawabnya setelah
pulang kerja” Kataku membatin”. Bukankah dia telah merambat dunia kerja setelah
tamat esemma” Lanjutku. Mungkin ini salah satu pemikiran Farjan melarang saya
berhubungan terlalu jauh dengan Raina. Karena dunia kami memang berbeda. Tentu
Raina telah terbiasa dengan yang namanya materi. Tentu dunianya adalah bioskop,
kafe, restauran dan mall. Sementara duniaku, dunia jalanan yang tak jelas. Bila
Farjan melihat dari sisi tersebut tentu dia sedikit baik intuisinya. Tapi saya
terlanjur tidak percaya padanya. Omong besar tanpa bukti. Sama persis dengan
para kandidat pemerintah. Akan melihat rakyat bila sedang kampaanye, selebihnya
“Maaf saya tidak kenal anda, dan saudara tidak akan saya butuhkan”. Begitulah
orang-orang besar bila telah berhasil duduk di kursi empuk. Dia nampak angkuh,
sombong merasa dirinyalah paling baik dan paling kuat.
Kebiasaan konyolku
tidur siang. Padahal Tuhan ciptakan siang untuk mencari nafkah dan malam untuk
istirahat. Denting siang mengibaskan tirai mimpi. Lelap telah bersemayam
menjumpai nirwana bunga-bunga. Saya terperangkap dalam taman keindahan. Duduk
di sudut dengan tetesan embun, menyegarkan permainan dahaga ini. Ini sebuah
mimpi yang telah hilang dari tuannya. Tapi tak berlangsung lama aku menikmati
keindahan mimpi tersebut. Getaran ponsel disampingku buatku terjaga. Agak malas
aku membuka esemes yang masuk. ”Tapi, ah... mungkin dari orang tuaku yang
telah lama tak menjumpai sepucuk kabar dariku. Pasti penting,” Terkah
batinku. Tapi setelah kubuka ternyata
esemes Raina. Dia tak pernah sekalipun tak membalas esemesku meski pun
terlambat dan kadang tak kuharapkan balasannya.
”Maaf baru balas, baru saja aku
beranjak dari pekerjaanku. Yakinlah kerinduan
akan menjembatani kita pada pertemuan. Tak perlu risau sebab aku
juga selalu mengirim doa-doa untukmu. Doa-doa pertemuan”.
Tak kubalas esemesnya. Saya ingin lanjutkan
mimpiku yang terpotong tadi. Saya ingin kembali kemimpi itu. Mimpi tentang
sebuah taman dengan bidadari terbaring dipundakku. Dia adalah Raina. Saya
tersenyum sebelum terlelap.
Waktu yang dingin tanpa mentari. Dan lelah yang
merasuk kerusukku masih saja setia temaniku. Cerita tak jua berakhir dengan Raina.
Seperti janji pemerintah yang tak kunjung ditepati. Doa-doaa pertemuan tak
berhenti karena sunyinya waktu. Dan slogan esemes tak kenal lagi kompromi.
Seperti slogan kampanye di setiap sudut jalan. Tak peduli slogan itu saling
berhimpitan. Bahkan baliho sang pemimpin dan calon pemimpin berjejer semrawut
sampai ke pelosok-pelosok desa yang penduduknya butu huruf. Karena biaya
sekolah terlalu tinggi sehingga tak mampu mengecap pendidikan. Hubunganku
dengan Raina tetap jadi hubungan menggeletik. Karena tiap hari nuansa penasaran
tertera pada hubungan ini.
“Ingat waktumu tak mungkin kamu
habiskan untuk sosok yang tak jelas seperti Raina. Dia tak mungkin kamu sentuh.
Lelaki sepertimu tak mungkin bisa bersanding dalam indahnya buaian cinta
Raina,” kata-kata Bahru menambah deret
pelecahan terhadap hak asasai seseorang. Dia tak jauh beda dengan Farjan. Kami
tiga bersahabat Farjan dan Bahru paling selalu ingin tampil sempurna. Dan saya selalu jadi bulan-bulanan mereka.
Tapi dengan percekcokan persahabatn kami tak terpisahkan. Meskipun
kepercayaanku pada Farjan tak maksimal.
“Banyak cara untuk mengurai makna
dalam kehidupan ini Ru. Kamu tahukan saya adalah sosok yang mencintai
kesederhanaan. Hingga harapanku pun sangat sederhana. Raina tak mesti jadi siapa-siapa bagiku.
Biarlah setelah pertemuan nanti dia akan meninggalkanku. Menghapus nomor
ponselku didaftar kontak hapenya. Atau menghapus nama Human di diari hatinya.”
Ungkapku menatap Bahru dengan mimik yang beku.
“ Ah… itu pikiran konyol man. Prinsip
orang tolol,” ujar Bahru tanpa ampun.
“Tak ada gunanya bertengkar tentang
pribadi seseorang Bahru, saya juga punya hak berprinsip”
“ Iya semua orang punya prinsip dan itu harus, tapi bukan
prinsip tolol begitu,” Tambah Farjan sambil tertawa.
“Semua orang punya
animo untuk melakukan sesuatu. Sebagai seorang saudara dan sahabat harusnya
kalian menuntut sahabatnya yang lain meraih cita-citanya, atau memberi dia
semangat untuk berjuang. Memperjuangkan apa menurutnya baik. Namun jika itu
akan membawa pada kesesatan kita harus mencegahnya. Bukan mencari kesalahannya.
Kalian seperti saja para tim sukses pemilihan pemimpin negeri ini. mencari
kesalahan lawan dan menjatuhkannya,” ungkapku dengan sedikit emosi.
Hubunganku dengan sahabat kabutku Raina masih
seperti dulu. Hubungan yang terbina dengan bentangan
tirai kabut yang kaku tak bergerak. Doa-doa pertemuan melengking tak
terbendung, tapi yang terjadi tak ada pertemuan. Hanya esemes yang tak pernah kering.
“Pa kabar? Pasti kabarmu menyenangkan seperti ketenangan
embun pagi ini yang tak terusik sinar mentari karena mendung. Atau seperti
semalam ketenangan awan tak terusik bintang bintang”.
Esemes Raina hampir tiap saat bertandang
kelayar ponselku. Begitupu sebaliknya. Pasti pegawai Telkomsel repot melayani
kami. Andai pemerintah seperti Telkomsel tak pernah lelah melayani rakyat. Negeri ini akan makmur.
“Esemes siapa Human? Tanya Bahru dan
Farjan serentak.
“Raina,” jawabku singkat.
“Lupakan saja tentang Raina dan pertemuan
Human,” ujar Farjan diiringi anggukan Bahru.
“Kalian seharusnya
mendukungku agar bisa ketemu Raina”
Pertemuan tak akan terjadi, Raina tak
mungkin mau ketemu dengan lelaki dekil sepertimu” Ujar Bahru sambil
bersiul-siul. Amat menjengkelkan
“Wah kalian ini tidak percaya pada
kekuatan doa ya,” kataku optimis
“Karena saya tahu siapa Raina, dia teman esemmaku dulu. Tak
ada lelaki yang bisa mendekatinya. Banyak lelaki telah dikecewakannya”.
Aku menganga menatap Farjan begitupun Bahru. Tak pernah kusangka Farjan
adalah teman Raina. Wajahku sedikit pias, sementara tawa kedua makhlik itu
memecah kebingunganku. Tak sedikit pun rasa bersalah di benak keduanya. Hampir
sama dengan pemerintah kita yang tak pernah sedikit pun merasa bersalah jika
menggunakan mobil dinasnya untuk urusan pribadi, atau korupsi uang negara yang
bersumber dari pajak rakyat.
Tak
sepatah kata pun yang mampu kueja. Tatapanku hanya begitu setia memandangi
lantai. Bagaimana mungkin kedua makhluk sial itu mengerjain saya begitu lama
dan rapi?
”Sudahlah Human tak perlu kau pikrkan
tingkah kami berdua, toh semuanya juga sudah jelas,” bujuk Farjan. Ini semua
karena permintaan Raina. Dia ingin menguji keseriusanmu,” lanjutnya.
”Iya Human semua ini kami lakukan
karena permintaan Raina” ujar Bahru menambahkan.
Saat
kebingungan itu jadi mahar pada jantungku karena kelakuan kedua makhluk itu.
Ponselku kembali berdering, tanda ada esemes masuk. Tanpa menghentikan laju
nafasku yang kian jengkel kepada kedua sahabatku itu. Aku membuka tombol ponsel
yang telah kehilangan aura zaman menurut keduanya. ”Akhirnya aku bisa lolos
dari jebakan kedua makhlik itu dengan esemes yang masuk sebagai alasanku untuk
menghindar,” bisikku alam hati. Tatapan mata mereka kulihat sekilas nampak
memperhatikanku.
“Ko’ tidak dibalas esemesku? Lagi sibuk ya?
Aku mau ketemu kamu. Kamu kerumah
bersama Farjan sebentar malam. Kamu kenal diakan. Dia teman SMAku, maaf baru
beri info tentang Farjan. Aku ingin mengikis kerinduanku tentangmu”.
Kini kami bertiga
bisu, tak ada lagi celoteh kedua makhluk itu, tak ada lagi tawanya yang
mengejek seakan keduanya tahu apa yang kurasakan. Siliran hadir mengurai rasa
bersalah. Dedaunan bernanyi sunyi membingkai waktu. Matahari senja malu-malu
menampakkan senyumnya, gerimis kini mulai merintih. Seperti rintihan nadiku
yang merasa dicabik oleh sahabatku sendiri dengan kebohongannya. Aku tak lagi
menatap lantai tapi tatapanku tajam pada ponselku. ”Kenapa aku hanya
menyalahkan kedua sahabatku itu. Bukankah Raina juga membohongiku,” Pikirku.
Tapi bukankah maksud ketiganya baik hanya ingintahu keseriusanku menjalin
hubungan ini dengan seorang yang berkabut?”
“Esemes Raina lagi,” tanya Farjan
mengagetkanku dari khayalanku. Saya hanya mengangguk dan menyerahkan ponselku
padanya. Farjan membaca esemes Raina. Ia tersenyum dan membalas esemes Raina
dengan tiga huruf “Oke”.
Oleh: Irhylk Makkatutu
Makassar, 13 Maret 2008
Pagi berselimut kabut memintal
benang risau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar