Marah, meratap,
mengeluh, meraung, menjerit, jengkel, tertawa, menangis. Entah apa lagi. Ia terdiam mencoba mengingat yang
sedang menimpanya. Kecewa, menangis, benci, rindu, cinta, kemunafikan… Dusta. “Ah
lagi-lagi menangis ada”. Pikirnya. Masih terdiam menerawang ke jejak
kemarin. Sakit hati, sedih, merana, trauma, menagis. “Ah lagi-lagi menangis
ada”. Keluhnya. Lalu dia seperti kehilangan kata. Bahkan seperti kehilangan
nafas, ataukah ia benar-benar telah kehilangan nafas. Entahlah…Tak ada data
falid yang bisa membuktikannya, juga tak ada teori yang dapat menopangnya.
Kalau dia benar-benar telah kehilangan nafas. Hanya saja wajahnya kini kian
tirus, tulang-tulangnya kian menonjol seakan ingin mengintip retinanya yang
selalu sembab oleh tetesan bening dari kelopak matanya. Langkahnya kian
lunglai, seakan gairah hidupnya telah layu sebelum jadi putik.
Namanya
Arnando Sarabuddin, tapi ia biasa disapa Nande’ Meskipun ia benci dengan nama
itu karena dianggap terlalu kedaerahan. Dia berasal dari Sinjai kabupaten
sebelah selatan kota Daeng. Tubuhnya tidak terlalu tinggi sekitar 165 cm,
kulitnya kuning langsat. Mungkin karena terlalu banyak makan rambutan dan
langsat. Tatapan matanya teduh. Dua tahun yang lalu dia mulai menetap di Makassar.
Nande kuliah di salah satu perguruan tinggi di kota ini. Dia juga aktif diberbagia organisasi. Baginya organisasi
bisa dijadikan batu loncatan menuju taraf hidup yang lebih baik. Sebagai
mahasiswa yang jauh dari orang tua, Nande dituntut tuk dapat hidup mandiri dan
hemat. Sejak dini dia telah diajari kesederhanaan. Dan ia tumbuh dengan bangga
menjadi orang yang sederhana. Bahkan dalam doa-doanya dia kadang meminta hanya
dua, kecintaan dan kesederhanaan. Baginya ketika dia dianugerahi dua hal itu, maka
kedamaian akan temaninya bermain dengan hidup. Sebagai seorang lelaki yang
normal dia juga tak bisa memisahkan diri dari ketergodaan terhadap kembang
waktu. Entahkah itu sebagai sumber inspirasinya, sekadar popularitas terhadap
temannya, ataukah untuk dijadikan sebagai zohar bagi hidupnya. Tapi ia tak
mudah mencintai dengan sepenuh hati seorang cewek. Terhitung baru tiga cewek
yang benar-benar dicintainya. Sadriana, gadis kuning langsat yang ia pacari
ketika kelas dua ESEMA. Putus setelah tiga bulan lima belas hari pacaran. Firta
gadis temboi yang mempunyai sejuta pesona tuk taklukan lelaki. Tak ada kata
putus hingga keduanya berpisah, mulai menjalin hubungan ketika ia semester dua
diperguruan tinggi. Rarah gadis feminim, hitam manis, lemah lembut dan pandangannya
seperti telaga yang menyejukkan, tutur sapanya seperti nyanyian musim. Di
putuskan setelah menjalin hubungan selama seratus dua puluh delapan hari. Yang
terakhir inilah yang membuatnya lunglai. Nande tak pernah mencintai seperti ia
mencintai Rarah. Dia sering berharap Rarahla dermaga asa dan mimpinya yang terakhir. Rarahlah yang
kan jadi muara tuk menampung tiap cerita hidupnya. Tapi sepoi menghentikan
hembusannya kearah itu. Dan gerimis merintikkan kisahnya dengan riak air mata.
Ia benar-benar tercabik. Hidupnya pucat pasi. Nadinya beku. Baginya Rarah
nyaris serba yang pertama. Tapi Rarah pula yang gentaskan kuncup-kuncup
mimpinya karena sebuah kecemburuan. Ini benar-benar menyakitkan
Menangis,
sedih, kecewa, sakit hati. Ia kembali melanjutkan celotehnya tentang derita
yang kini menimpanya. Derita yang di teteskan seorang Rarah. Inilah derita
cinta sejati, derita yang digores di atas gelombang tak berbuih. Meratap,
bergumam, menengadah, mengigau, luka, menagis. “Ah lagi-lagi menangis ada”
pikirnya. Perih yang ia alami kini menggunung, menimbun cerahnya. Enam tahun
yang lalu ia telah ukir janjinya di sayap malaikat untuk tidak menangis. Apapun
yang terjadi, tapi kini janji itu jebol seperti bili-bili di musim hujan meluap tanpa henti.
Satu-satunya yang tak pernah ia rindukan adalah air matanya. Tapi… Saat air
matanya mengalir membuat kolam-kolam hitam di pelataran hatinya. Nande baru
sadar, air matanya masih bening, sangat
bening. Dan Rarahlah yang memperkenalkan kebeningan air mata itu. Ia akhirnya
bisa menangis setelah telaga retinay benar-benar kering.
Ketawa,
bercanda, terisak, bingung, pusing,, berteriak, tidur begitu susah, rapuh,
menangis. “Ah lagi-lagi menangis ada” gumamnya. “Kenapa tangis jadi
jalan yang begitu indah untuk menumpahkan segalah renyahku” gumamnya
kembali. Nande telah jadikan menangis adalah hal paling indah setelah takma
cintanya dengan Rarah perlina di telapak keangkuhan dan egoisme. Ia kehilangan
sandaran kini. Ia kehilangan cahaya kini. Ia juga telah kehilangan putik-putik
harapan untuk membina keutuhan cinta dengan Rarah. Ia kini terluka. Ia mulai
bertanya makna namanya apa sebenarnya Apakah Nande berarti kesialan, kegagalan
ataukah sakit. Ia memang tidak pernah
tahu makna namanya seperti ketidak tahuannya kenapa Rarah memutuskannya. Ia kehilangan kini. Ia meratap kini. Dan ia
mulai berani melihat air matanya sendiri. Padahal enam tahun yang lalu,
menangis adalah hal yang paling di bencinya.
Lelah, sunyi sepi, senyap, gelap, sendu, lara, merana kecewa, menangis,
cemburu. Ah lagi lagi menagis ada” kesalnya. Nande kini bukan lagi
seorang yang takut pada air matanya sendiri. Rarahlah yang berjasa
perkenalkan air matanya pada dirinya.
Pada perasaannya. Nande kini tak lagi mengejek orang yang menangis ia kini telah
jadi Nande yang peka. Dan ia juga tak lagi menyesali namanya. Ia bangga dengan
nama itu, karena nama itu, setiap orang yang menyebut maka ia akan menoleh ke negeri Bugis. Ia kini
bangga dengan kedaerahannya. Seperti kebanggaannya dalam kesederhanaannya. Dan
Nande mulai menyulam kata terima kasih
pada Rarah yang ajarinya menagis, “Ternyata menangis juga indah, maka
menangislah karena cinta. Ungkapnya.
Nande mulai membalut cintanya pada Rarah dengan air mata.
Marah. Meratap. Kecewa. Sedih. Lunglai. Rapuh.
Harapan. Mimpi. Kegagalan. Hinaan. Sepi. Gerah.
Benci. Curiga. Menangis.“Ah
lagi lagi menangis ada. Apakah air mata akan tetap ada dalam tiap jejak waktu,
ataukah dunia ini diciptakan dengan cinta dan air mata” Tanyanya dalam
hati. Ia mulai dan acap melantunkan syair pertanyaan itu kepada daksina Ia juga
bertanya kapan Rarah ajarinya berhenti
menangis….entahlah…..mungkin esok, lusa atau bahkan tidak sama sekali, maka ia
akan terus menangis………
Penulis: Irhyl’k Rhantaz
Makassar, 16 November 2007
Bocah waktu baru saja merangkak, menatap
halimun dan mencari zoharnya yang hilang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar