Kamis, 23 Mei 2013

Luka Musim

    Marah, meratap, mengeluh, meraung, menjerit, jengkel, tertawa, menangis. Entah apa lagi. Ia terdiam mencoba mengingat yang sedang menimpanya. Kecewa, menangis, benci, rindu, cinta, kemunafikan… Dusta. “Ah lagi-lagi menangis ada”. Pikirnya. Masih terdiam menerawang ke jejak kemarin. Sakit hati, sedih, merana, trauma, menagis. “Ah lagi-lagi menangis ada”. Keluhnya. Lalu dia seperti kehilangan kata. Bahkan seperti kehilangan nafas, ataukah ia benar-benar telah kehilangan nafas. Entahlah…Tak ada data falid yang bisa membuktikannya, juga tak ada teori yang dapat menopangnya. Kalau dia benar-benar telah kehilangan nafas. Hanya saja wajahnya kini kian tirus, tulang-tulangnya kian menonjol seakan ingin mengintip retinanya yang selalu sembab oleh tetesan bening dari kelopak matanya. Langkahnya kian lunglai, seakan gairah hidupnya telah layu sebelum jadi putik.
    Namanya Arnando Sarabuddin, tapi ia biasa disapa Nande’ Meskipun ia benci dengan nama itu karena dianggap terlalu kedaerahan. Dia berasal dari Sinjai kabupaten sebelah selatan kota Daeng. Tubuhnya tidak terlalu tinggi sekitar 165 cm, kulitnya kuning langsat. Mungkin karena terlalu banyak makan rambutan dan langsat. Tatapan matanya teduh. Dua tahun yang lalu dia mulai menetap di Makassar. Nande kuliah di salah satu perguruan tinggi di kota ini. Dia juga aktif  diberbagia organisasi. Baginya organisasi bisa dijadikan batu loncatan menuju taraf hidup yang lebih baik. Sebagai mahasiswa yang jauh dari orang tua, Nande dituntut tuk dapat hidup mandiri dan hemat. Sejak dini dia telah diajari kesederhanaan. Dan ia tumbuh dengan bangga menjadi orang yang sederhana. Bahkan dalam doa-doanya dia kadang meminta hanya dua, kecintaan dan kesederhanaan. Baginya ketika dia dianugerahi dua hal itu, maka kedamaian akan temaninya bermain dengan hidup. Sebagai seorang lelaki yang normal dia juga tak bisa memisahkan diri dari ketergodaan terhadap kembang waktu. Entahkah itu sebagai sumber inspirasinya, sekadar popularitas terhadap temannya, ataukah untuk dijadikan sebagai zohar bagi hidupnya. Tapi ia tak mudah mencintai dengan sepenuh hati seorang cewek. Terhitung baru tiga cewek yang benar-benar dicintainya. Sadriana, gadis kuning langsat yang ia pacari ketika kelas dua ESEMA. Putus setelah tiga bulan lima belas hari pacaran. Firta gadis temboi yang mempunyai sejuta pesona tuk taklukan lelaki. Tak ada kata putus hingga keduanya berpisah, mulai menjalin hubungan ketika ia semester dua diperguruan tinggi. Rarah gadis feminim, hitam manis, lemah lembut dan pandangannya seperti telaga yang menyejukkan, tutur sapanya seperti nyanyian musim. Di putuskan setelah menjalin hubungan selama seratus dua puluh delapan hari. Yang terakhir inilah yang membuatnya lunglai. Nande tak pernah mencintai seperti ia mencintai Rarah. Dia sering berharap Rarahla dermaga  asa dan mimpinya yang terakhir. Rarahlah yang kan jadi muara tuk menampung tiap cerita hidupnya. Tapi sepoi menghentikan hembusannya kearah itu. Dan gerimis merintikkan kisahnya dengan riak air mata. Ia benar-benar tercabik. Hidupnya pucat pasi. Nadinya beku. Baginya Rarah nyaris serba yang pertama. Tapi Rarah pula yang gentaskan kuncup-kuncup mimpinya karena sebuah kecemburuan. Ini benar-benar menyakitkan
    Menangis, sedih, kecewa, sakit hati. Ia kembali melanjutkan celotehnya tentang derita yang kini menimpanya. Derita yang di teteskan seorang Rarah. Inilah derita cinta sejati, derita yang digores di atas gelombang tak berbuih. Meratap, bergumam, menengadah, mengigau, luka, menagis. “Ah lagi-lagi menangis ada” pikirnya. Perih yang ia alami kini menggunung, menimbun cerahnya. Enam tahun yang lalu ia telah ukir janjinya di sayap malaikat untuk tidak menangis. Apapun yang terjadi, tapi kini janji itu jebol seperti bili-bili  di musim hujan meluap tanpa henti. Satu-satunya yang tak pernah ia rindukan adalah air matanya. Tapi… Saat air matanya mengalir membuat kolam-kolam hitam di pelataran hatinya. Nande baru sadar,  air matanya masih bening, sangat bening. Dan Rarahlah yang memperkenalkan kebeningan air mata itu. Ia akhirnya bisa menangis setelah telaga retinay benar-benar kering.
    Ketawa, bercanda, terisak, bingung, pusing,, berteriak, tidur begitu susah, rapuh, menangis. “Ah lagi-lagi menangis ada” gumamnya. “Kenapa tangis jadi jalan yang begitu indah untuk menumpahkan segalah renyahku” gumamnya kembali. Nande telah jadikan menangis adalah hal paling indah setelah takma cintanya dengan Rarah perlina di telapak keangkuhan dan egoisme. Ia kehilangan sandaran kini. Ia kehilangan cahaya kini. Ia juga telah kehilangan putik-putik harapan untuk membina keutuhan cinta dengan Rarah. Ia kini terluka. Ia mulai bertanya makna namanya apa sebenarnya Apakah Nande berarti kesialan, kegagalan ataukah sakit. Ia memang  tidak pernah tahu makna namanya seperti ketidak tahuannya kenapa Rarah memutuskannya.  Ia kehilangan kini. Ia meratap kini. Dan ia mulai berani melihat air matanya sendiri. Padahal enam tahun yang lalu, menangis adalah hal yang paling di bencinya.  Lelah, sunyi sepi, senyap, gelap, sendu, lara, merana kecewa, menangis, cemburu. Ah lagi lagi menagis ada” kesalnya. Nande kini bukan lagi seorang yang takut pada air matanya sendiri. Rarahlah yang berjasa perkenalkan  air matanya pada dirinya. Pada perasaannya. Nande kini tak lagi mengejek orang yang menangis ia kini telah jadi Nande yang peka. Dan ia juga tak lagi menyesali namanya. Ia bangga dengan nama itu, karena nama itu, setiap orang yang menyebut  maka ia akan menoleh ke negeri Bugis. Ia kini bangga dengan kedaerahannya. Seperti kebanggaannya dalam kesederhanaannya. Dan Nande mulai menyulam kata terima  kasih pada Rarah yang ajarinya menagis, “Ternyata menangis juga indah, maka menangislah karena cinta.  Ungkapnya. Nande mulai membalut cintanya pada Rarah dengan air mata.
Marah. Meratap. Kecewa. Sedih. Lunglai. Rapuh. Harapan. Mimpi. Kegagalan. Hinaan. Sepi. Gerah.  Benci. Curiga.  Menangis.“Ah lagi lagi menangis ada. Apakah air mata akan tetap ada dalam tiap jejak waktu, ataukah dunia ini diciptakan dengan cinta dan air mata” Tanyanya dalam hati. Ia mulai dan acap melantunkan syair pertanyaan itu kepada daksina Ia juga bertanya kapan Rarah  ajarinya berhenti menangis….entahlah…..mungkin esok, lusa atau bahkan tidak sama sekali, maka ia akan terus menangis………

Penulis:  Irhyl’k  Rhantaz 

Makassar, 16 November 2007
Bocah waktu baru saja merangkak, menatap halimun dan mencari zoharnya yang hilang.

Tidak ada komentar: